Politik Bahasa: Pengajaran Bahasa Inggris


Politik, tak jarang orang menjadi apatis mendengar kata ini. Lalu, adakah kaitannya dengan pembelajaran bahasa? Mengapa bahasa harus juga dipolitisasi? Mari simak ulasan berikut.

“Jika akses mempelajari bahasa asing diberikan kepada Anda secara gratis, bahasa apa yang ingin Anda kuasai?” tanya seorang dosen. “Bahasa Inggris,” jawab seorang mahasiswa di bangku depan. “Alasan Anda?” terlihat keren dan modern. “Ada yang lain?” “Mandarin,” jawab seseorang di ujung sana. “Kenapa, ada apa dengan Mandarin?” populasi Chinese sangat banyak dan saya ingin menjadi bagian dari itu. Selain itu, bahasa ini banyak digunakan dalam bisnis,” ungkap dosen yang berasal dari Polandia itu.

Lalu, Apa Tujuan Anda Belajar Bahasa Inggris? Adakah Motif Politis di Dalamnya? 


Berbicara tentang tujuan belajar bahasa, setiap individu memiliki tujuan politis atau bahkan apolitis, bisa jadi sekadar menyalurkan hobi. Apapun itu, seorang pembelajar dapat dipastikan bahwa ia ingin berasosiasi dengan sesuatu atau kelompok, apakah itu budaya ataupun identitas.

Pennycook dan Coutand-Marin (2003) menyatakan, “Pengajaranbahasa Inggris memiliki tendensi politik. Hal ini didukung oleh sistem kurikulum nasional yang mendesain materi kelas tentang apa yang sesuai dan apa yang tidak. Beberapa mempromosikan pembelajaran sekular dan yang lain justru memiliki tujuan religius (baca: misionaris-pen).”

Ada Pesan Misionaris dalam Pengajaran Bahasa Inggris


Lebih lanjut, Pennycook dan Coutard-Marin (2003, hal. 338-339) mengkategorikan posisi ini, yaitu pengajaran bahasa Inggris sebagai bagian dari tujuan misionaris—missionary purposes—bukan sekadar kurikulum pengajaran bahasa. Berdasarkan hasil penelitiannya, kelompok Kristen Evangalis menyatakan bahwa pembelajaran bahasa Inggris dilakukan sebagai cara mengkristenkan pemeluk agama lain—semakin banyak jiwa yang terselamatkan, semakin baik. Oleh sebab itu, muncul lah terminologi Teaching English as Missionary Language.

Program misionaris tak hanya terkait dengan kolonialisme, neokolonialisme, dan liberalisme belaka, namun lebih dari itu yakni memproyeksikan bahasa agar memiliki efek terhadap target misionaris—the language effects of Christianity.

Politik Benturan Budaya dalam Pengajaran Bahasa Inggris


Hal lain yang harus menjadi perhatian yakni, pengajaran bahasa seringnya sarat dengan budaya. Dua entitas yang tidak mudah untuk dipisahkan.  Namun, aspek penting yang perlu digaris bawahi dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia atau negara Islam pada umumnya, bahwa bahasa Inggris dan Islam adalah dua mobilitas besar dan kompleks terkait budaya, pandangan hidup (worldview), politik, dan ekonomi. Oleh karenanya, sangat mungkin terjadinya benturan budaya—clash of civilization.

Dan benturan itulah memang yang ditargetkan. Dirasa atau tidak, bahasa Inggris dalam konteks pengajarannya tidak membahas Islam dalam diskusi, pertemuan, konferesi, maupun publikasinya. Inilah yang kemudian diterminologikan sebagai more English and less Islam oleh seorang applied linguist, Sohail Karmani. Sehingga ada tendensi untuk mereduksi Islam dan Muslim dengan berbagai stereotip, generalisasi, dan pernyataan klise lainnya.    

Dengan itu semua, sebagai pengajar atau Anda yang sedang belajar, setidaknya akan berusaha mempercayai pernyataan ini: mempelajari bahasa Inggris berarti memiliki pintu luas pada keterbukaan informasi sehingga menjadi di antara mereka yang open minded, bukan right minded; lalu meyakini bahwa Islam hanya sekadar kepercayaan, ritual, dan akhlak yang ada di masjid-masjid dan keluarga.

Apakah Fenomena Berikut Dampak Politik dari Pembelajaran Bahasa Inggris?


Tentu ada rasa prihatin ketika nama seperti Diego, Veronika, dan nama-nama lain yang berasosiasi Barat menghiasi nama-nama bayi Muslim. Padahal di Barat sendiri, mereka yang mualaf merubah nama mereka menjadi Muhammad, Ali, Hamzah, Sumayya, Aisyah yang itu lekat dengan identitas Muslim. Jangan kemudian dengan mempelajari budaya lain menjadikan kita Muslim Indonesia ini menggadaikan agama dan identitas. Sekali lagi, jangan bermental layaknya anak jajahan, yang selalunya silau dengan apapun yang datang dari Barat. Sejatinya yang dianggap ‘modern’ itu tak selamanya modern.

Ada baiknya tulisan ini segera diakhiri. Artikel singkat ini dibuat bukan untuk menyurutkan luapan emosi Anda dalam belajar bahasa Inggris, bukan. Isu yang diangkat hanya sekadar memberikan trigger bahwa ada agenda lain dalam pembelajaran bahasa, dalam diskusi ini bahasa Inggris yang dicontohkan.

Terkait efek dari pembelajaran bahasa Inggris sendiri, tidak ada sajian data statistik dari penulis tentang seberapa jauh pembelajaran bahasa Inggris telah merongrong jiwa Muslim. Hal sederhana yang bisa gunakan untuk mengukur besarnya pengaruh itu yakni dengan mengevaluasi diri sendiri. Sudahkah Anda secara spontan melantunkan ayat-ayat suci lebih sering ketimbang lagu-lagu berbahasa Inggris? Atau adakah Anda lebih banyak menghafal nama-nama sahabat nabi dibandingkan nama-nama artis papan atas Barat? Tidak ada salahnya sekadar mengevaluasi diri, bukan. Yang lebih berbahaya lagi yaitu masuknya pemikiran liberal pada generasi Muslim kita. Sekian pemaparan kami.

LihatTutupKomentar