Bahasa Inggris menjadi salah satu mata pelajaran utama di SD, begitulah rencana perubahan kurikulum Mendikbud baru Nadiem Makarim. Mapel bahasa Inggris akan diajarakan hanya di tingkat SD, SMP dan SMA akan dihapuskan. Pada perubahan kurikum kali ini, Mendikbud Nadiem ingin menuntaskan pengajaran bahasa Inggris di tingkat dasar. Pula, pengajarannya akan difokuskan pada kemampuan berbicara, bukan tata bahasa. Tentu hal ini membawa angin segar bagi pendidikan kita, namun ada aspek lain dalam pengajaran bahasa Inggris yang juga layak mendapat perhatian. Lalu, bagaimana pengajaran bahasa Inggris di konteks Indonesia sebaiknya diajarkan?
Kemampuan berbahasa Inggris diasosiasikan dengan modernitas, yang bermakna bahwa seseorang akan memiliki akses terbuka terhadap pendidikan, pekerjaan yang menjanjikan, pergaulan internasional, bahkan menaikkan status sosial. Singkat kata, mampu berbahasa Inggris dapat membuka banyak peluang bagi penggunanya. Untuk itu, tak heran jika kemampuan bahasa Inggris dikejar oleh banyak kalangan. Mengenai hal ini, Nino-Murcia (2003) mengibaratkan fenomena ini sebagai English is like the dollar, karena menurutnya bahasa Inggris telah menjadi daya penggerak (driving force) bagi masyarakat pinggir di Peru untuk berkompetisi di era global ini.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, pengajaran bahasa Inggris di sistem pendidikan Indonesia telah ditawarkan sejak usia dini. Siswa-siswi di PAUD sudah dikenalkan dengan abjad atau kosa kata bahasa Inggris, melalui lagu misalnya. Pun kurikulum bahasa Inggris sejauh ini sudah dicoba dengan berbagai desain, seperti konsep RSBI. Tidak hanya sekolah ber-mainstream negeri, beberapa sekolah swasta Islam dan pesantren juga menerapkan kurikulum yang menerapkan bahasa Inggris sebagai language of instruction. Tak dapat dipungkiri, setidaknya ada dua hal penting yang ingin dicapai dari pengadaan program bahasa Inggris di dunia akademis sejauh ini, yaitu mampu menaikkan internasionalisasi (prestige) sekolah dan jumlah siswa.
Indonesia sebagai negara dengan mayoritas Muslim menyadari pentingya kemampuan bahasa Inggris. Penguasaan bahasa Inggris bagi Muslim telah mampu membuat sebuah peradaban, sehingga seorang Muslim akan dianggap civilized jika cakap berbahasa Inggris apalagi jika ilmu agamanya baik, berbahasa Arab, dan hafal al-Qur’an, fiddunya hasanah wa fil akiroti hasanah, begitu nuansanya. Analogi lain seperti juga didapati ketika seseorang berprofesi sebagai seorang dokter medis dan hafal al-Qur’an, seakan dunia akhirat ada dalam genggamannya.
Terkait penguasaan bahasa asing, Islam sangat mengajurkan Muslim untuk mempelajarinya. Dalam sejarah, diriwayatkan bahwa sahabat Zaid bin Tsabit diinstruksikan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk belajar bahasa Ibrani dan Syria yang merupakan bahasa Yahudi dan kita-kitab Nasrani. Begitupula, sahabat Salman al-Farisi, seorang Persia yang polyglot. Ia menguasai kitab-kitab Nasrani, al-Qur’an, bahkan berpengetahuan tentang agama Zoroaster di Persia. Dewasa ini, ilmu pengetahuan Islam pun banyak dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Seperti buku Sirah Nabawi yang ditulis dan dimenangkan oleh ilmuan India dengan judul asli ar-Rahiq al-Makhtum, yang kini tersebar luar dengan versi bahasa Inggrisnya, The Sealed Nectar.
Namun dari itu semua, apakah bahasa Inggris sebagai ilmu dunia dianggap sebagai ilmu yang sarat atau tanpa nilai? Pengajaran bahasa Inggris mestinya sarat dengan unsur politis dan lekat dengan identitas masyarakat lain (language and politics, language and identity). Bahasa Inggris dalam diskursus sebagian orang dianggap berasosiasi dengan pandangan barat (western worldview). Padahal Islam dan barat agakya sulit menjadi satu kesatuan. Dalam terminologinya, Samuel Huntington memiliki istilah clash of civilization, yaitu benturan peradaban.
Ilmu pengetahuan diyakini banyak ilmuan sebagai entitas unggul dalam khazanah akademis. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah semua ilmu yang notabene dihasilkan oleh para ilmuan itu objektif?
Dalam pengajaran bahasa Inggris, Holliday dan Canagarajah sangat vokal dalam mengkritisi pengajaran bahasa Inggris yang sarat dengan budaya itu. Holliday (2009) menegaskan bahwa pengajaran Bahasa Inggris memiliki usaha untuk memaksakan pandangan barat pada identitas masyarakat pinggir (periphery). Lebih lanjut, Holliday (2009) menyarankan agar masyarakat utama (the Centre) mendefinisikan ulang pengajaran bahasa dan kultur sehingga pengajar di masyarakat pinggir lebih fleksibel dalam mendefinisikan bahasa Inggris tersebut ke dalam definisi mereka. Dalam spektrum yang sama, Canagarajah (1999) menjelaskan dua dikotomi dalam pembelajaran bahasa Inggris yaitu sebagai pengetahuan yang bebas nilai (knowledge as value-free) dan pengetahuan yang sarat dengan ideologi (knowledge as an ideology).
Filosofi yang melandasi mengapa pengajaran kultur menjadi diskursus sendiri dalam kehidupan Muslim yaitu bahasa Inggris diasosiasikan dengan nilai Judeo-Christian dan juga peradaban barat, pula pandangan lain yang seringnya diasosiasikan dengan itu (Mohd-Asraf, 2005). Lebih lanjut, Mohd-Asraf (2005) menyatakan bahwa, “English is more than just a language; Islam is more than just a religion.” Selain itu, pengajaran bahasa Inggris juga menjadi sarana menyampaikan misi misionaris (Pennycook & Coutand-Marin, 2003; Makoni & Pennycook, 2005) dan juga memiliki kedekatan pada kultur British dan Amerika. Karmani (2005) menekankan bahwa pengajaran bahasa Inggris di negara-negara Arab memiliki misi menjadikan “more English and less Islam”.
Merespon fenomena ini, al-Attas (2005) menegaskan bahwa setiap apa yang dilakukan Muslim itu berorientasi dunia dan akhirat. Maka, apa yang dilakukan di dunia harus berujung akhirat. Singkatnya, akhirat menjadi tujuan utama dalam hidup seorang Muslim. Untuk itu, jika saja apa yang dilakukan Muslim bertentangan dengan filosofi Islam, maka hal itu memiliki konsekuensi pada akhiratnya, dan inilah yang sulit bagi Muslim jika ilmu pengetahuan yang dianggap value free itu ternyata sarat dengan nilai-nilai ideologis agama lain.
Untuk itu, Syed Naquib al-Attas memiliki gagasan islamisasi ilmu. Nyatanya, ilmu pengetahuan itu tidak bebas nilai. Islamisasi ilmu merupakan sebuah usaha mengislamisasi ilmu pengetahun yang belakangan ini didominasi barat, agar bernuansa ‘islami’. Karena menurut al-Attas, tantangan ilmu pengetahuan bagi Muslim bukanlah kebodohan melainkan ilmu itu sendiri. Sedangkan tujuan pendidikan Islam adalah mencetak manusia yang kamil berdasarkan moral agama. Misalkan saja ilmu sains, ilmu tersebut menjadi akan lebih bermanfaat bagi Muslim jika kurikulum yang diajarkan mengkaji sains berdasarkan Islam.
Dalam konteks islamisasi ilmu, pengajaran bahasa Inggris harusnya bisa didesain dengan tanpa pengajaran elemen lain, namun diarahkan kepada kebutuhan Muslim, seperti kemampuan berpidato dapat didesain tujuan pembelajarannya untuk berdakwah dan urgensi lain yang dibutuhkan Muslim, misalnya. Mengenai hal ini, pernyataan Pennycook (2007) akan mengakhiri ulasan berikut bahwa, “English (teaching) should be appropriated for Muslim’s own purposes.”