"Those who say religion has nothing to do with politics do not know what religion is," kata Mahatma Gandhi. Kutipan tersebut menyiratkan makna bahwa agama tak jauh dari politik, beragama dan berpolitik itu sah. Mereka yang sekuler hanya mencoba membuat sekat-sekat agar Muslim tak usah ikut berpolitik, sana urusi masjid saja. Karena jika Muslim berpolitik itu mengancam mereka yang ambisius ingin semena-mena berkuasa. Lalu apa kabar Jokowi, calon petahana dan pemilih Muslim di 2019?
Ulasan berita workshop penulisan opini di media massa di website UMM (13/9/2018).
Jokowi identik dengan sosok calon anti Islam diusung oleh PDI-P yang seringnya sebelum tensi politik memanas merasa jumawa dan dalam berbagai kesempatan mengumumkan tak butuh suara Muslim, kini akhirnya memilih pendamping wakil dari ia yang berlatar belakang agama, Ma’ruf Amin. Sedikit banyak, koalisi ini memecah suara Muslim apalagi yang berlatar belakang Nahdliyin.
Flashback sejenak, hasil pilkada serentak 2018 tak berbuah manis bagi PDI-P. Banyak calon PDI-P kalah pelak meski di lumbung-lumbung utama basis suara, seperti di Jawa Timur dan Sumatera Utara. Di Jawa Tengah meski menang, tapi perolehan suara calon yang diusung sangat tipis, pun ada indikasi kecurangan, KTP yang tercecer misalnya. Jelas ini kekhawatiran.
Di bawah kepemimpinan Megawati, PDI-P identik dengan partai pengusung aspirasi kaum abangan dan jauh dari konstituen Islam bahkan sejak Jokowi berkuasa, ia merasa punya power untuk semena mena terhadap Islam dan Muslim di panggung publik. Kajian Islam dipersekusi, ulama-ulama dikriminalisasi, pegiat sosial ditangkapi, terlebih lagi suara anti Islam sering dinarasikan.
Kini melalui wakilnya, pihak Jokowi mengunjungi pesantren-pesantren untuk meraup suara. Jokowi yang berulah, Ma’ruf Amin yang kerepotan klarifikasi, seakan wakilnya dipaksa mendorong mobil mogok. Fenomena ini saja bisa dibaca bahwa kubu jokowi panik, kalang kabut. Sehingga apapun yang sekiranya bisa menguntungkan kubunya akan dilakukan, walau harus menjilat ludah sendiri.
Media ia kuasai, bercita-cita menang kembali di pertarungan selanjutnya. Bayangkan saja seluruh media mainstream ada di belakangnya, Kompas, Metro Tv, Media Indonesia, MNC, dan masih banyak lagi. Tak sontak mengherankan, headline berita selalu dipenuhi berita positif tentang ia dan kubunya, tentang keberhasilan kepemimpinannya yang semu—pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur. Pun demikian dengan lembaga-lembaga survey yang jauh-jauh hari melakukan kajian bahwa Jokowi akan menang, Jokowi didukung oleh pemilih Muslim, Jokowi dan segala aktifitas positif hasil framing medianya. Tak ayal, ia didukung uang dari sosok invisible hands, Sembilan Naga katanya.
Manuver yang kini dilakukan adalah “merajuk” Muslim untuk memilihnya, yang tentu itu bukan tanpa konsekuensi di baliknya, there is no such a thing as free lunch. Dengan cepat, konon kiyai yang bersebrangan dengannya kini membelot ke kubunya, pula beberapa politisi yang awalnya membela Islam kini berpihak padanya, mungkin iman tak terlalu kuat dengan guyuran rupiah, janji jabatan. Tak tanggung tanggung demi meraup dukungan milenial, pemuda-pemudi disuguhi opsi-opsi, salah satunya beasiswa untuk santri.
Selain itu, rezim Jokowi yang tak pro Muslim sangat mengganggu stabilitas kerukunan umat beragama di Indonesia. Indonesia yang mayoritas Muslim justru dipersekusi, dijadikan rasa minoritas. Alhasil, muncul kemudian para penghina-penghina agama, Islam dijadikan bahan olokan di muka umum, difasilitasi acara televisi, berceloteh seakan komika milenial tapi berujung caci dan maki. Itulah yang kian membuat Muslim meradang dengan rezim ini, tak salah jika kemudian dijuluki rezim anti agama.
Lalu, Muslim dibenturkan dengan Muslim sendiri, mereka menyusupkan oknum Banser, oknum GP Ansor. NU dijadikan sayap agama oleh Jokowi. Tak hanya Muslim di luar NU yang geram, Muslim di kalangan NU sendiri naik pitam dibuatnya sehingga terbentuklah terminologi yang masyhur di antara kita, NU Garis Lurus. NU yang tak sepakat dengan definisi-definisi ala kiyai-kiyai Projo.
Meski Muslim dicoba dengan berbagai ujian di rezim ini, namun masih ada juga mereka yang mengaku Muslim memberikan dukungan pada paslon nomor urut satu itu, sungguh terlalu begitu Rhoma Irama bersenandung. Tak hanya bang Rhoma, Buya Hamka pun geram berkata, “Kecemburuan adalah konsekuensi logis dari cinta. Tak ada cemburu, mustahil ada cinta. Dan apabila ghirah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh ummat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” Sebagai kesimpulan, di 2019, pemilu kali ini bukan soal kalah menang, namun ada hal yang lebih besar, yaitu Islam dan anti Islam.
*Ditulis 13 November 2018 pada Workshop Penulisan Artikel dan Opini di Media Massa oleh Redaktur Jawa Pos dan menjadi artikel terbaik versi pemateri Pak Doan Widhiandono.